Foto dalam Pigura

Malian
2 min readJan 3, 2024

--

Aku melihat potret masa kecilku bergaya pagi ini, Mengenakan pakaian serba senada perihal corak dan warnanya dinaungi topi koboi kedodoran menutupi separuh bagian kepalaku, Sepatu kulit kecil menyempurnakan keluguan mungil tubuhku saat itu..

Sembari kagum aku menghela napas. Sembari tersenyum aku menangis keras, Menyadari pigura foto adalah kalimat harap yang hingga kini berhianat, maka ibu datang kemudian bertanya mengapa aku terlihat aneh menatap foto itu. Nampaknya ia memperhatikan kerut yang menegang, berperang keras dengan pengibulan masa lalu.

Aku tidak banyak berharap, bahkan ketika bocah di dalam pigura menyahut menyapaku:

“Ada masalah apa hai dewasaku, silakan emosimu, sadarlah kau membuat jendela-jendela warasmu pecah berkeping-keping. Kau membuat kemungkinan indah pada tuamu menjadi mustahil”

“Bodohlah, aku tak peduli, bahkan jika saja kau berada diposisiku kini. Niscaya kau akan melakukan hal serupa, kau akan memonopoli semua Pemikiran brilianmu hanya untuk menari di bawah hujan, Melupa waktu pulang, mengacuhkan tanya ibu demi membicarakan Hal tak penting dengan sebuah foto”.

“Jangan kau sahut sapaku seperti itu, aku adalah kau sebelum kini. Kau adalah aku setelah dulu, apakah ketika kau diberi peluang mengulang lalu Bisakah kau lebih baik dari pada kini?, aku tidak berpikir demikian, kau hanya mencoba mengelak dari bungkamnya asamu, kau hanya bersembunyi dari kacaunya pikirmu. Cobalah meregang, biarkan otot uratmu menghela nafas lega setelah apa yang kau lakukan beberapa tahun terakhir ini, tidakkah kau rindu masaku?. Masa emas dimana segala imajinasi terasa begitu nyata,

seperti ketika dulu kau menaiki bilah sapu kemudian kau berangan sembari memejamkan mata, maka setika ruang kamar bergetar mengelupas, menampakan birunya langit dan empuknya awan, kau terbang secepat kilat dengan bilah sapu yang kau tunggangi. Atau ketika kau terjatuh saat berlatih mengayuh sepeda kecilmu, yang kemudian membuatmu menangis maka ibu akan datang untuk meng-iba.

Mengerahkan sayangnya padamu hingga kau berhenti terisak, meski setiap klasik tak paham tentang cerobohmu saat memecahkan guci tua berharga ratusan juta di museum, ketika sekolah dasarmu mengadakan program rekreasi, Kau hanya ingin menyelamatkan seluruh manusia di bumi karena kau berpikir guci tua nan besar dengan segala ukiran menyeramkan itu bisa saja tiba-tiba berubah menjadi sosok monster raksasa yang kemudian tanpa ampun melahap semua manusia yang ada.

Aku tertawa terpingkal saat mengenang hal itu, masa lalu polosmu yang berkembang di zona yang salah. Kau.terlalu banyak mengunyah luka, kau terlalu banyak melukis duka. Hingga segala jeniusmu tiada berpengaruh pada dewasamu kini.”

“Aku mengerti pintamu, namun bisakah kita melanjutkannya kemudian hari tanpa kantuk yang melanda seperti saat ini, duhai potret diriku. Nampaknya.kau lebih memahami diriku dari pada aku sendiri sebagai pemilik penuh gerak ini, aku kalah, namun tiada sampai pada batas dimana aku harus menyerah.

Selamat malam ibu, selamat malam potret kecilku. Jangan lupa benahi penampilanmu, perbaikilah longgar topi koboimu sebelum lelap tidur memelukmu, telah ku amini segala harapmu padaku sebagai wujud perubahan besarmu dahulu.”

Curahan berlarut hingga petang, menepikan segala alur kisah puisi yang mengokohkan estetika kepenulisan yang baik dan benar, menjadi ramu celoteh kisahan gemulai romantisme sejarah yang dilukiskan.

Aku akan selalu ada pada tiap ritme alunan musikmu, entah kapan

Kau akan sadar pada kemudian, bahwa tarimu nanti tiada mungkin lepas

Dari lirik cermatku kini.

--

--

Malian

Nyaman bermain dengan sekelumit permasalahan kesusastraan di kepalanya