Malam Alusi

Malian
9 min readJan 2, 2024

--

Malam ini, aku masih menjaga lilin agar tetap menyala. “Sedang apa kau, jangan aneh-aneh yaa. Kau tahukan, kalau dosa syirik salah satu dosa yang tidak diampuni oleh Gusti Allah”. Katanya, yang sendari siang bersembunyi di balik nada telepon.

Aku diam, malas merespon. Karena ku yakin dia tahu dengan pasti bahwa aku sedang tidak berniat melakukan ritual aneh seperti yang dia katakan.

Hening, hanya terdengar suara hujan yang sejak 5 jam lalu mengguyur kota kami, yang sepertinya tidak berniat untuk berhenti dalam waktu dekat.

Hiasan lampu yang meriah, rias dekorasi dengan tema lautan yang memesona. Latar pesta yang kubuat sedemikian rupa untuk menyambut tamu-tamu undanganku yang hingga saat ini belum juga datang.

Apa jangan-jangan mereka terjebak dalam hujan?” Sergah batinku.

Ah, tidak mungkin, mereka saat ini sedang bersama Malik peterson, si Peta, yang paham liuk jalan strategis menghindari penat” timpal batinku yang lain, menenangkan.

Atau, jangan-jangan mereka tersandung malam, terjatuh di pelataran linglung yang menyesatkan.” Perlahan, silih praduga bermunculan. Saling menghadirkan ketakutan dan kekhawatiran dalam reka adegan yang bisa saja benar-benar terjadi atau bahkan tidak terjadi sama sekali.

Ah, untuk terjebak dalam pekat malam, sepertinya juga tidak mungkin. Mereka sedang bersama Carlos Verdi, si Intuitif. Pasti ada reka kejadian yang dia persiapkan, menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan.”

Malam dan hujan semakin nyaman bermain-main dengan waktu. Sementara lilin, sepertinya mulai gelisah dengan dirinya yang semakin mungil, dengan letup api kecil yang menari di sumbu pendeknya saat ini sembari mengikuti irama hujan.

Mau sampai kapan kau menunggu?” Kali ini, aku benar-benar tidak mengetahui asal suara tanya yang kudengar.

Terjadi begitu saja mengikuti desir angin malam yang melengos dari arah jendela besar yang kubiarkan terbuka, menyambut guyuran hujan nan serak sepuh iramanya.

Entahlah, aku tak yakin dengan waktu.” Ucapku menjawab ke sembarang arah, barangkali si penanya mendengarnya. “Tapi aku yakin dengan mereka, setidaknya Sbastian Rexteiger tidak pernah menggagalkan janjinya”.

Hingga gemintang akhirnya ku tutup. Ku selimuti mereka dengan nyaman. Ya, meski kubiarkan hujan melirik cemburu kerena hanya jatah secangkir kopi yang kuberikan untuknya. Lagi pula, siapa pula yang memintanya tuk membanjiri rumahku hingga kaki ranjang nyaris tenggelam tak tersisa.

Semoga Zyan Zurputuri, melepas bijak kalimat pikirannya tidak di sembarang tempat.” Ucap batinku, sebelum ku rendam tubuh lilin dalam mangkuk besar penuh es batu. Harapku, agar membeku dan tak lekas kedaluarsa, hingga masih bisa ku tiup pada pergelaran pesta berikutnya.

………………………

Sebenarnya, ingin saja ku akhiri pesona cerita ini dengan klimaks yang biasa.

Tapi entahlah, gerimis yang menyeka dahiku malam ini, begitu saja memunculkan gairahku untuk menggila, memeras imajinasiku ditengah tumpuk tugas kampus yang tak kunjung mereda.

Yaa, meski gerimis secara sepontan menjelma hujan, yang tentunya semakin menawarkan inspirasi imajinatif untuk ku lepas dalam cerita rindu malam ini. Tetap saja, menulis cerita tidak semudah membusungkan dada sembari berkata, “aku adalah pengurus shof 4 yang tak tekalahkan”.

Maka, kucoba tuk menyalakan lampu inspirasiku melalui kenangan lama album foto di ruang pustaka.

………………………

Sosok penyiar berita, dafdaf Hamilton, sedang sibuk menyampaikan reportase tragedi temuannya di tengah badai yang masuk dalam liputannya. “teman-teman yang sedang menonton berita ini, demi menjaga silaturahim agar tidak putus pinjam dulu seratuuuus.” Aku, sebagai NPC yang tidak sengaja menemukan liputan ini. Berpikir

Apa-apaan ini, warta TV nasional mulai menyiarkan berita non faedah macam ini.”

Permirsa, apakah anda bingung dengan siaran stasiun Televisi kami?, makanya, siapa suruh anda menonton berita ini” lanjut reporter tadi.

Hei, bila tak paham ingin menyampaikan apa di stasiun TV nasional, tidur saja sana, pulanglah, dunia sepertinya tidak benar-benar membutuhkan klise pemberitaan anda” sambutku kesal.

Bung, jika tak suka, coba ganti saja saya punya posisi disini, kau pikir mudah. Jika saja presiden anda, bapak Qhyla Graham Bell, tidak semena-mena dengan karir reportese macam saya, mana mungkin saya mengajukan pinjaman seratus kepada pemirsa” balas reporter tadi dengan tegang.

Sial, aku tak percaya dengan fakta bahwa, baru saja aku berdebat dengan repoter dalam siaran langsung sebuah acara televisi nasional.

Sepertinya, lebih baik aku tidur cepat malam ini.

Aku matikan televisi, mengabaikan seruan reporter tadi yang sepertinya masih ingin berdebat dengan ku.

Hey …..!”

katanya, yang merupakan letukan terakhir sebelum ku tinggalkan televisi yang sudah mati tersebut, aku ingin memastikan beberapa hal sebelum aku benar-benar beranjak tidur setelah ini.

………………………

Aku harus berhati-hati melangkahkan kaki, berjalan di tengah genangan air ternyata tidak semudah yang beberapa kali kusaksikan di film layar lebar.

Aku takut, kalau-kalau tidak sengaja menginjak persiapan pesta yang sudah kupersiapkan sejak sedekade lalu.

sebenarnya dimana kuletakkan telepon genggamku” rutukku dalam hati,

Karena bisa saja, tamu-tamu undanganku meninggalkan pesan disana.

Aku masih kesulitan mencari, kucoba amati barang-barang rumah yang saat ini tengah mengapung santai.

Sofa, lemari es, peralatan melukisku. Bahkan televisi yang baru saja kutonton, saat ini sedang mengambang, membentuk baris rapi dengan alat elektronik lainnya menuju dapur. Entahlah, mungkin mereka berencana untuk memasak sesuatu, terjebak ditengah banjir malam-malam begini, memang menguras tenang dan lumayan memicu nada lapar untuk berdering.

Sebenarnya aku sedikit penasaran dengan kabar si reporter dan ketidak sukaannya terhadap sosok presiden. Tetapi biarlah, letak telepon genggamku malam ini sepertinya jauh lebih penting, dari pada harus kembali menyalakan televisi dan berdebat dengan reporter tadi.

………………………

Apa iya benar-benar hilang. Aku semakin gusar, mulai merasa kedinginan mencari telepon genggam di tengah banjir yang semakin tinggi. Hingga kemudian,

Ting-tung ….. !!!!” Dering bell rumahku berteriak kencang memanggil tuannya.

Ting-tung………… !!!!!!!” Suaranya semakin kencang, berteriak memanggil tuannya untuk yang kedua kali.

Heeyy …. bisakah kau bersabar sebentar, kau tak tahu aku sedang sibuk mencari sesuatu disini!!” teriakku tak kalah keras, menimpali kebisingan yang dengan sengaja bell tadi timbulkan.

jika saja bukan karena orang dengan mantel hujan di hadapanku yang menekan tombolku, aku tak akan berbunyi, dasar pak tua. Kau akan datang menemuinya sekarang, atau ku pinta tamu ini pergi?

Benar juga, tapi tetap saja aku tak terima, bell rumahku baru saja mengolokku dengan kata ‘TUA’. Apa aku sudah selapuk itu?, sembari terus menyumpahi bell tadi dengan serapah kasar di dalam hati, dengan perlahan aku coba mendekat ke arah pintu utama tuk tahu, siapa sebenarnya tamu yang dia maksudkan itu.

Iya iyaa …., jika memungkinkan, bisakah kau tidak mengolokku tua.” Pintaku halus dengan nada yang kubuat sedikit kasar, aku tak ingin benar-benar terlihat seperti orang tua pemarah di hadapan benda yang baru saja mengolokku.

Perlahan, kuintip tamu melalui lubang besar di pintu putih rumahku. Siapa dia, ku pikir salah satu dari Malik peterson, Carlos Verdi, Sbastian Rexteiger, dan Zyan Zurputuri yang merupakan nama-nama di dalam daftar tamu undanganku.

Atau seorang Dafdaf Hamilton, reporter yang berdebat denganku tadi, mungkin saja dia berniat langsung mengunjungi rumahku setelah tak terima atas komentar kasarku.

Bisa pula, Bapak Qhyla Graham Bell, entah mungkin ingin datang memberiku penghargaan sebagai warga negara dengan ide brilian atas prestasiku karena telah berinisiatif untuk mengumpat kepada reporter di stasiun Televisi nasional yang sedang melakukan siaran langsung.

Namun, orang yang saat ini berada dalam pengawasanku, siapa dia?, aku tidak pernah benar-benar mengenalnya, sosok pria dengan mantel hujan berwarna hijau menyala terlihat asing di mataku.

Entah karena aku memang tak pernah mengenal dia sebelum ini, atau karena kaca mata bulatnya yang bias memantulkan cahaya bulan, sehingga membuat mataku silau tak melihat jelas siapa sosok di balik mantel itu.

Apakah bapak saat ini sedang mencoba mengintip saya di balik lubang besar pintu itu?” tebaknya, dengan suara paraunya yang tertelan riuhnya hujan.

Bagaimana bisa orang ini mengetahui isi pikiranku. Ucapku di dalam letupan kaget yang hening. Sementara aku mencoba untuk bersikap tenang sebisa mungkin, karena bisa saja tamu ini hanya mengada-ngada.

jika bapak saat ini sedang bertanya-tanya bagaimana saya mengetahu anda yang sedang berpikir bahwa telah berhasil bersembunyi di balik pintu rumah anda. Ketahuilah wahai bapak yang mencoba untuk terlihat bijaksana. Bahwa lobang ini tidak benar-benar menyembunyikan sosok anda. Anda sangat terlihat konyol sekarang” ucap pria itu dengan senyuman anehnya.

“Apa benar yang dikatakan pria itu?´tanyaku sedikit berbisik pada bell rumahku yang cerewet.

Tentu saja, dasar konyol” jawabnya dengan yakin.

Baiklah,” ucapku masih dalam kendali nada yang tenang.

Aku membuka pintu rumahku perlahan, mengatur volume Air banjir yang menggenangi rumahku agar tak keluar dengan deras, hingga tak sengaja menyapu pria itu dengan ganas.

Perlahan, air-air itu keluar dengan teratur. Menyisakan beberapa genangan sebagai suvenir agar aku tak lupa atas bencana mereka, setidaknya demikian isi surat yang tak sengaja kulihat di atas sofaku yang saat ini terlihat lega karena tidak lagi harus repot-repot mengapung, menahan diri agar tak tengelam. Sepertinya surat itu ditinggalkan dengan sengaja oleh mandor air-air tadi. Baiklah, terimakasih. Ucapku dalam hati.

silakan masuk” ucapku singkat pada pria yang masih kokoh berdiri ditempatnya, bahkan setelah beberapa pasukan air tadi bermain-main melewati kolong kakinya.

tidak perlu repot-repot bapak, singkat saja saya ingin menyampaikan pesan” ucapnya dingin.

Mengapa tidak kau sampaikan tadi sebelum aku repot mengeluarkan semua air tadi dari rumahku, Hah. bukankah kau bisa menyampaikan pesan dalam kepalamu melalui lobang pintu yang ternyata cukup besar untuk memperlihatkan setengah tubuh bagian atasku.

Ingin sekali aku menyampaikan ini dengan penuh kesal. Namun ku urungkan, aku tidak ingin terlalu banyak berbasa-basi dengan pria ini.

Baiklah, lanjutkan !!!” ucapku singkat

………………………

Kami masih saling berdiri berhadapan, menatap satu sama lain dengan serius, tidak ada yang menghalangi kekesalanku malam ini, kecuali sepasang pintu utama rumahku dengan lobang yang berhasil membuat diriku tampak konyol di hadapan pria ini.

Sementara hujan, dia sepertinya sedang sibuk. Aku tahu bahwa saat ini dia bahkan sedang tidak peduli dengan apa yang akan pria ini sampaikan.

jadi begini …” ucapnya tenang, menggambarkan gelapnya malam yang sepertinya juga merasakan kedinginan yang sama sepertiku.

“saya hanya ingin menyampaikan bahwa, masa-masa menyenangkan anda sepertinya akan saya akhiri sampai disini. Sepertinya saya tidak perlu lagi menjelaskan maksud dari masa menyenangkan yang saya sampaikan, karena anda sepertinya tampak memahaminya dengan baik sekali!!”

Dia benar, sepertinya aku memahami maksudnya, mungkin ini alasan mengapa hingga saat ini seolah tiada tanda-tanda para tamuku akan datang menghadiri pesta yang aku siapkan. Semua ini sebenarnya tampak janggal, karena tidak biasanya hal semacam ini terjadi. Sepertinya ada yang harus ku telusuri lebih dalam lagi.

tamu tamu anda, sudah berhasil saya alihkan kesenangan mereka, yang semula tampak tak terpisahkan dengan anda, menjadi kesetiaan tak terbatas atas kehendak saya. Sudah saya sediakan segala apa yang mungkin mereka butuhkan sedangkan anda sepertinya sama sekali tidak bisa memenuhinya. Saya lihat dan amati, bahwa anda hanya memberikan pengaruh buruk kepada mereka yang sebenarnya memiliki bakat yang mengagumkan jika diberi kesempatan dan jam terbang yang menjanjikan.

Tentu saja, Kedatangan saya kesini sama sekali tidak untuk memamerkan keberhasilan saya merebut loyalitas mereka atas anda. Saya hanya meminta anda untuk merelakan mereka dan meminta maaf atas beberapa perlakuan anda yang kasar dan mungkin beberapa kali melewati batas kepada mereka. Dan hal itu wajib anda lakukan, bahkan jika saya harus memaksa anda menggunakan cara yang kasar sekalipun.” Jelasnya dengan yakin

Aku diam, tubuhku hanya mampu bergetar hebat meng-iyakan apa-apa yang pria ini katakan.

“bagaimana keadaan mereka” sahutku asal,

“saya rasa, pertanyaan ini bukan suatu hal yang cermat anda sampaikan, mengingat saya telah menjelaskan bahwa saya telah menjamin kebutuhan mereka. Tentu saja mereka baik-baik saja”

“baiklah,” kataku.

Aku, melalui keterwakilan mereka atas hadimu menyampaikan maaf, entah apakah harus disandingkan dengan keterangan seperti apa setelahnya, apakah di sandingkan dengan sebesar-besarnya, atau maaf yang setulus-ulusnya. Ku serahkan sepenuhnya terhadap kehendakmu. Aku hanya berpikir bahwa mereka adalah sebenar-benarnya tamu abadiku. Hanya itu. Maka aku merelakan segala apa yang mereka inginkan kepada mu.”

Dia diam, bahkan setelah beberapa detik aku menyampaikan permintaan maaf ku.

ada lagi? Karena sepertinya masih ada beberapa kata yang tertahan di dalam benak anda”

Sial, apa yang dia bicarakan, tentu saja masih ada yang ingin aku sampaikan kepadanya, yang sepertinya menjadi kesalahan fatal baginya karena tidak memilih pergi dan mencukupkan isi pesanku pada kalimat maaf saja.

tentu saja,” lanjutku

Persetan dengan anda, akan ku jemput mereka ketempat yang kau sembunyikan”

Ucapku dengan kasar sembari membanting pintu di hadapan wajahnya. Aku tidak akan tianggal diam, aku memilih masuk meninggalkan pria tadi dengan wajah kesalnya. Akan aku buktikan kepadanya bahwa aku akan melindungi tamu-tamuku. Tentu saja aku mengetahui potensi terbaik mereka, lihat saja. Pesta seperti apa yang akan kubuat selanjutnya.

Kunyalakan televisi yang saat ini berada di atas lemari es. Kucari siaran berita televisi nasional tadi.

Ini dia, sergahku. “Hei, reporter menyebalkan, aku butuh bantuanmu, sepertinya aku memiliki rencana mengagumkan untuk kau sampaikan diliputan beritamu, oh iya, sampaikan ini secara meriah, semeriah mungkin, agar bapak presiden tertarik untuk membantu kita.”

Belum sempat reporter itu menjawab, ku matikan kembali televisi itu. Ku yakin, reporter itu akan tertarik dan bersedia membantuku.

………………………

NB: bukan seperti ini akhir yang diinginkan penulis, tapi karena efek kantuk yang tak tertandingi (jam menunjukkan pukul 01.47 AM) penulis harus cepat menyelesaikan tulisan ini karena harus tidur sebagai Manusia. maka penulis memohon maaf atas beberapa kesalahan yang meungkin menggelikan; kesalahan ketik, pemilihan kata, latar, dan lain sebagainya. Selamat ulang tahun ARTIC, CACTUS, EVEREST, FLAME dan Lintas Media. Saudara-saudaraku. Semoga kita semakin Karib dan bijaksana kedepannya. Aamiin.

Oiya, kesamaan nama, tempat dan reka kejadian, bukan dilakukan secara sengaja atau bermaksud menjatuhkan pihak manapun. Ini hanya sebatas, yaaa kalian tau lah … J

Wassalamualaikum

--

--

Malian

Nyaman bermain dengan sekelumit permasalahan kesusastraan di kepalanya