Tangan Hujan

Malian
2 min readJan 1, 2024

--

Sudah?, Sudah usai?

Meski sepertinya hujan di luar sana masih deras jatuh membasahi bumi yang kita pijaki bersama, hingga sandal kita berdua tergenang, sedikit menenggelamkan punggung kaki kita namun kita masih saling diam. Masih saling diam menunggu hujan reda, masih saling diam menunggu mendung tiada.

Belum!, Tidak semudah itu untuk usai!

Sayangnya, hujan ini masih akan lama bermain dalam pertikaian kita, masih akan lama menggenangi punggung kaki yang dipeluk sandal jepit kesukaan kita. Semakin tinggi, semakin kaki kita tenggelam. Bisa saja negri ini hanya berisikan kisah paradoks. Membual tapi tetap saja nyata, nyata tapi tetap saja bualan.

Maaf yaa, kemarin aku lupa untuk menjaga intonasi bicaraku, dia bergerak brutal menghempaskan semua sabarmu. Hingga berantakan, hujan tak lagi sama, bahkan sepertinya air tak lagi dibutuhkan olehnya. Hujan hari ini hanyalah duka dalam ekspektasi bisu kesukaan kita terhadap kemudahan.

Terlena menganggap hujan hanya sebagai elemen tak padat yang sama sekali tidak membahayakan. kita tak awas, kita biarkan setiap derainya menusuk tubuh ringkih kita, kita tak sadar beberapa bagian tubuh sudah menghilang. Berganti menjadi bongkahan rindu yang tak tersampaikan.

Tenang saja, kita aman selama masih berada dalam naungan atap halte yang sejahtera ini. Sesaat lagi bahtera kita sampai, aku sudah jengah mendengar bising dari hantaman hujan di atap halte. Aku menulis rangkaian kejahatan yang ia lakukan; mencipta kebisingan, menghempas harapan dan menghapus kerinduan.

Ya, kita aman, selama surah pendek dan panjangnya kita lantunkan. Kemudi bahtera akan melaju dengan aman, seluruh halte, toko buku, mushola, masjid dan kebingunganmu akan sampai tujuan, sekian.

Setidaknya kita aman, melindungi hati kita meski tubuh telah compang dan camping dalam ketidak pastian peradaban, dalam alun hempasan hujan.

--

--

Malian

Nyaman bermain dengan sekelumit permasalahan kesusastraan di kepalanya